Perempuan Dijalur Caffeine


Pendahuluan dalam sebuah tulisan, bagiku beberapa tahun yang lalu adalah sesuatu yang selalu kulewatkan. Apa pentingnya pendahuluan. Cerita pribadi umumnya, lika-liku, awal mula kenapa ia memulai dan bertahan. 

Dalam artian, proses seringkali terlewatkan untuk melengkapi cerita. Begitu menekuni dunia kopi, proses menjadi target belajar kemanapun singgah yang seringnya hanya sekedar duduk meneguk secangkir espresso atau cappucino. 

Rangkaian tindakan, pembuatan, atau pengolahan yang menghasilkan produk ini makna proses dikamus besar bahasa. Di dunia kopi, rangkaian ini menjadi hilang makna jika duduk, berbincang dengan sosok perempuan. Ini kebanyakan pengalamanku dengan sosok wanita atau perempuan atau gadis-gadis penikmat kopi susu. Satu-dua dari perempuan yang pernah duduk dan ku kenal yang memberikan kesan mengesankan saat bicara masalah kopi. 

Hal yang jarang kulakukan sebenarnya, menjelang siang masuk kedai kopi dengan pesanan brew metode. Dengan yakin memesan, harapan ada rasa yang bisa di pelajari lagi di kedai kopi ini. Satu diantara sepuluh kaum pria adalah hal lumrah di kedai kopi. Di kerumuni asap rokok, pongah tanpa ampun. Dan lagi-lagi aku berharap dan bergantung kesehatan pada antioksidan di secangkir kopi.

Aku meninggalkan hiruk-pikuk kedai kopi sejenak, memenuhi kewajiban, menghamba. Tidak sedikitpun teringat bahwa kebiasaan di kedai kopi ini dengan pesanan V60, mempersilahkan kita eksplor sendiri proses blooming dan takaran air yang di ingini. Maksud lain dari mempersilahkan pembeli untuk menuangkan air ke atas tumpukan serbuk kopi dalam paper filter. Dengan alasan apapun, aku melihat ini menjadi cara jitu untuk memperoleh zona aman dari keritikan konsumen. 

Dan..., aku mendapati proses blooming sudah selesai. Satu gelas kecil meninggalkan noda kopi. Server sudah terisi beberapa mili air kopi. Tapi cerek air masih mengeluarkan asap tipis, tampaknya sisa air panas lebih banyak dari yang sudah di tuang. Ada tanda tanya yang muncul, terlintas marah, bercampur kecewa. 

Dengan kesan yang tidak kupahami, teman dudukku (perempuan, 2 tahun terpaut usia) mempersilahkan untuk menuangkan air, memproses sendiri kopi yang akan kami minum. Ternyata ia tidak benar-benar paham proses penuh dari konsep brewing kopi. Apa yang bisa di pelajari pikirku, ketidak proses brewing tidak dilakukan dengan benar. Toh hasil seduh pertama dan inti, sudah di teguk tuntas olehnya.

Tipikal ego dominan, harus mengendalikan marah dengan segera. Ini pekerjaan rumahku ketika berada di keramaian. Wajah datar kurasakan terpasang alot di ekspresiku, perlahan kulirik sang barista di belakang meja.
"Maaf bang, double espresso satu ya" senyum getir menjadi awal agar tidak terbawa suasana.
"Ngeri kali menu kopinya hari ni kak?" sapa arif, kenalan yang sedari tadi duduk membelakangiku. Dan kuputuskan untuk tidak menegur sapa, takut mengganggu bincang siang dengan sang pujaan hatinya.
"Lagi coba atur fokus, siapa tau terbantu dengan kopikan?" senyum termanis dengan pengaturan emosi yang belum stabil membuatnya melirik meja kami.
"Pesanan V60-nya kenapa belum di seduh kak?" pertanyaan yang benar-benar tidak kuharapkan.
"Udah di eksplor, di buat kreasi baru sama kawan tu" spontanitas yang masih menunjukkan emosi sebenarnya.
"oooh" jawabnya singkat, senyum paham situasi tertangkap olehku.

Dari sisi kiriku, si kakak mendapat sinyal atas ketidak sepahaman cara menikmati kopi.
"Don't judg me"  dengan satu jari yang ia mainkan, memberi isyarat ketidak senangannya.
Dengan senyum alakadarnya, kutatap sekilas dan kualihkan perbincangan dengan arif. Bertukar kabar, bercanda ringan kupilih untuk mengendalikan situasi. Dan suasana meneguk secangkir kopi akhirnya tanpa perbincangan, kualihkan semua tenaga dan fokus pada gadget, membuat beberapa perencanaan di aplikasi dokume, menutup telingan menikmati beberapa lagu. 

Dan point gelas kosong ku hari ini, espresso dengan citarasa pahit. Meninggalkan asam di after tast, terasa kelat pekat di beberapa sisi lidah. Kunikmati aroma bubuk matang di awal, dan beberapa aroma yang masih belum ku kenali. 

Seperti biasa, kutarik beberapa kata sebagai pelajaran untuk memahami orang lain, mengerti beberapa cara kehidupan berjalan. Dengan informasi karakter dari si kakak, teman duduk ngopi meninggalkan kesal yang sama pada kebanyakan kaum hawa saat mencoba beradaptasi dengan dunia kopi. Bahwa melakukan sesuatu yang belum kita pahami dengan baik, jangan karena ingin menunjukkan kesan kita mampu, bisa, atau apapun yang sejenisnya. Belajar untuk mengatakan tidak tau, memberikan kesempatan pada yang tau untuk mengajarkan, membagi ilmu. Ini lebih elegan dan berkelas tentunya.

Komentar

Postingan Populer