Di Antara Dua Waktu

  
  
 altana (25) in story 
Sepertiga waktu hari ini berlalu dengan mendengarkan. Sampai hujan mengambil tempatnya di penghujung sore masih tetap dengan konsep mendengarkan, dan baiknya ku akhiri kembali untuk menyeruput segelas kopi pikirku. Kesamaan langkah dengan dua sahabat disebuah organisasi menjadi faktor penentu dimana, bagaimana cerita gelas kosong hari ini.

Cukup kagum dengan suasana pengunjung di coffee shop bergaya modern namun tetap mengusung coffee basic di salah satu menunya. Ruang roastry dengan segala pesona aroma, tumpukan karung berisi green bean, di tambah jejeran produk dengan nama yang sama, Oz Coffee. 

Tempat kami duduk cukup berjauhan dari meja utama, meja barista. Namun, cukup dekat dengan ruang pemanggang kopi (roasting). Ini yang membuat beberapa menit berlalu tanpa menghadirkan diri di meja bersama ke dua sahabat. Masih belajar dan masih pemula, jargon kemanapun dan di manapun aku bersua dengan aroma kopi. Begitu banyak yang belum tersimpan di ruang otak ku, tentang aroma alami kopi. Bahkan saat mencoba mengenali karena merasa kenal aku menghabiskan waktu tanpa hasil, aku tidak mengenali nama si aroma. 

Dengan suara lantang, muadzin dari masjid yang hanya beberapa langkah dari coffee shop ini mengingatkan bahwa sebagai hamba, sudah saatnya menghambakan diri kembali. Azan magrib. Seorang pramusaji bergegas mematikan beberapa lampu, menutup satu persatu daun pintu. Terlintas sejenak, mengakhiri duduk manis menikmati kopi atau ada pilihan lain.

Beberapa pelanggan melangkah, menjauh, meninggalkan beberapa gelas kosong, serta kepalan tisu kusut di beberapa sisi meja. Ada pula yang berpindah dari teras caffee menuju ruang utama tempat ini.

"Maaf kak, kita magrib dulu", dengan senyuman tipis pramusaji yang menutup pintu itu menyapa kami, memberi isyarat.

Tapi, aku tidak menangkap satu pun bahasa yang menjadi pesan utama. Salah satu dari kami akhirnya berinisiatif untuk pindah ke ruang utama. Menghampiri barisan meja yang di tinggal pergi oleh pengunjung sebelumnya. Membawa serta gelas kopi dan pesanan lain. Mengatur ulang posisi duduk dan barang-barang wajib dan biasa kami letakkan di atas meja.

Sebenarnya tema pembicaraan sedari tadi antar kedua sahabatku adalah kepribadian calon imam. Masih belum tertarik mengikuti jalan cerita pembicaraan kami, ku alihkan dengan menikmati aktivitas sekitar.

Para barista masih sibuk melayani pesanan, padahal azan sudah berkumandang dan segera berlalu. Satu keluarga kecil tepat di meja belakang berinteraksi ria tentang menu makanan mereka malam nanti. Kawanan  kaum adam, yang berada di sisi timur, menunduk khusyuk pada layar gadget masing-masing sembari memberi komentar sesekali. Ada juga beberapa wanita muda dan baru melangkah menyertai kami di ruang, tepat saat azan berkumandang di kalimat ketiga yang serta-merta meletakkan gadget di tangan sebelah kanan tanpa komando secara bersamaan.

"Jadi kalau darimu, gimana bahasannya kak?", sapa dek wa dengan senyum tipis seperti menemukan diriku yang masih berkelana, dan ini pertanyaan yang aku sudah tau trik untuk menggantungkan jawaban agar dibahas lebih panjang pikirku.

Tanpa basa-basi, ku persilahkan beberapa pengalaman bercerita dari sudut pandang laki-laki meluncur dari tenggorokan dan memberi mereka pesan melalui suaraku. Terlihat menarik dan mereka cukup tertarik, ku timpali dengan beberapa cerita dari sudut pandang wanita dari berbagai kalangan di sekitarku.

Sesekali aroma tanah basah, aspal basah mengalihkan kembali hidupku. Cappucino yang ku nikmati dan rekomended mengesankan aku masih bersama mereka. Layaknya cappucino, lemon tea hangat dan hot coklat di atas meja, setia bersanding dan uji banding bersama, sesekali mungkin realita itu sama. Namun, dunia imajinasi lebih menarik bagiku.

".. ya dalam banyak hal, perempuan zaman sekarang ujian bagi laki-laki. Tapi juga laki-laki zaman sekarang adalah ujian bagi perempuan. Gaya hidup, tolak ukur kepribadian, ekonomi bahkan budaya atau kebiasaan seringnya diukur dari interaksi sosial. Jarang, tapi masih ada yang mengukur itu dari bagaimana interaksi seseorang itu dengan dirinya sendiri", aku harus melempar satu kalimat, yang kuanggap kesimpulan agar diskusi ini segera bisa di akhiri. Kenapa?, karena aroma kopi sudah mulai menghilang dari sisiku. Gelas cappucino selesai ku seruput dan hujan mulai menarik diri. Dan saatnya kembali ke peraduan dan mencari jalan untuk hidup keesokan hari.


Komentar

Postingan Populer