Di Antara Dua Waktu
Sepertiga waktu hari ini berlalu dengan mendengarkan. Sampai hujan
mengambil tempatnya di penghujung sore masih tetap dengan konsep mendengarkan,
dan baiknya ku akhiri kembali untuk menyeruput segelas kopi pikirku. Kesamaan
langkah dengan dua sahabat disebuah organisasi menjadi faktor penentu dimana,
bagaimana cerita gelas kosong hari ini.
Cukup kagum dengan suasana pengunjung di
coffee shop bergaya modern namun tetap mengusung coffee basic di salah satu
menunya. Ruang roastry dengan segala pesona aroma, tumpukan karung berisi green
bean, di tambah jejeran produk dengan nama yang sama, Oz Coffee.
Tempat kami duduk cukup berjauhan dari meja
utama, meja barista. Namun, cukup dekat dengan ruang pemanggang kopi
(roasting). Ini yang membuat beberapa menit berlalu tanpa menghadirkan diri di
meja bersama ke dua sahabat. Masih belajar dan masih pemula, jargon
kemanapun dan di manapun aku bersua dengan aroma kopi. Begitu banyak yang
belum tersimpan di ruang otak ku, tentang aroma alami kopi. Bahkan saat mencoba
mengenali karena merasa kenal aku menghabiskan waktu tanpa hasil, aku tidak mengenali
nama si aroma.
Dengan suara lantang, muadzin dari masjid
yang hanya beberapa langkah dari coffee shop ini mengingatkan bahwa sebagai
hamba, sudah saatnya menghambakan diri kembali. Azan magrib. Seorang pramusaji
bergegas mematikan beberapa lampu, menutup satu persatu daun pintu. Terlintas
sejenak, mengakhiri duduk manis menikmati kopi atau ada pilihan lain.
Beberapa pelanggan melangkah, menjauh,
meninggalkan beberapa gelas kosong, serta kepalan tisu kusut di beberapa sisi
meja. Ada pula yang berpindah dari teras caffee menuju ruang utama tempat ini.
"Maaf kak, kita magrib dulu",
dengan senyuman tipis pramusaji yang menutup pintu itu menyapa kami, memberi
isyarat.
Tapi, aku tidak menangkap satu pun bahasa
yang menjadi pesan utama. Salah satu dari kami akhirnya berinisiatif untuk
pindah ke ruang utama. Menghampiri barisan meja yang di tinggal pergi oleh
pengunjung sebelumnya. Membawa serta gelas kopi dan pesanan lain. Mengatur
ulang posisi duduk dan barang-barang wajib dan biasa kami letakkan di atas meja.
Sebenarnya tema pembicaraan sedari tadi
antar kedua sahabatku adalah kepribadian calon imam. Masih belum tertarik
mengikuti jalan cerita pembicaraan kami, ku alihkan dengan menikmati aktivitas
sekitar.
Para barista masih sibuk melayani pesanan,
padahal azan sudah berkumandang dan segera berlalu. Satu keluarga kecil tepat
di meja belakang berinteraksi ria tentang menu makanan mereka malam nanti.
Kawanan kaum adam, yang berada di sisi timur, menunduk khusyuk pada layar
gadget masing-masing sembari memberi komentar sesekali. Ada juga beberapa
wanita muda dan baru melangkah menyertai kami di ruang, tepat saat azan
berkumandang di kalimat ketiga yang serta-merta meletakkan gadget di
tangan sebelah kanan tanpa komando secara bersamaan.
"Jadi kalau darimu, gimana bahasannya
kak?", sapa dek wa dengan senyum tipis seperti menemukan diriku yang masih
berkelana, dan ini pertanyaan yang aku sudah tau trik untuk menggantungkan
jawaban agar dibahas lebih panjang pikirku.
Tanpa basa-basi, ku persilahkan beberapa pengalaman bercerita dari sudut pandang laki-laki meluncur dari tenggorokan
dan memberi mereka pesan melalui suaraku. Terlihat menarik dan mereka cukup
tertarik, ku timpali dengan beberapa cerita dari sudut pandang wanita dari
berbagai kalangan di sekitarku.
Sesekali aroma tanah basah, aspal basah
mengalihkan kembali hidupku. Cappucino yang ku nikmati dan rekomended
mengesankan aku masih bersama mereka. Layaknya cappucino, lemon tea hangat dan
hot coklat di atas meja, setia bersanding dan uji banding bersama, sesekali
mungkin realita itu sama. Namun, dunia imajinasi lebih menarik bagiku.
".. ya dalam banyak hal, perempuan
zaman sekarang ujian bagi laki-laki. Tapi juga laki-laki zaman sekarang adalah
ujian bagi perempuan. Gaya hidup, tolak ukur kepribadian, ekonomi bahkan budaya
atau kebiasaan seringnya diukur dari interaksi sosial. Jarang, tapi masih ada
yang mengukur itu dari bagaimana interaksi seseorang itu dengan dirinya
sendiri", aku harus melempar satu kalimat, yang kuanggap kesimpulan agar
diskusi ini segera bisa di akhiri. Kenapa?, karena aroma kopi sudah mulai
menghilang dari sisiku. Gelas cappucino selesai ku seruput dan hujan mulai
menarik diri. Dan saatnya kembali ke peraduan dan mencari jalan untuk hidup
keesokan hari.
Komentar
Posting Komentar