Garis Euforia, Siti Kewe
Dari
kepala sampai kaki gunung, kebun kopi mendominasi ruang hijau di tanah ini.
Ribuan ton biji kopi perbulannya bergerak menghirup udara baru di negeri-negeri
nun jauh dari kepingan tanah surga, tanah kelahirannya.
Menjadi
hal yang tabu jika mereka mendengar harga fantastis kopi di pasaran. Ketika
dunia luar sibuk mempersiapkan kualitas dan berkompetisi untuk kopi
"enak", batang-batang kopi disini masih sering ditinggal dan di
jenguk saat panen atau musim buah merah tiba.
Disini
para petani adalah pekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan dapur, ribuan
mil di negeri lain adalah para pelaku kopi yang umumnya memenuhi standar status
sosial. Bahkan diantara mereka menjadikan bisnis kopi sebagai ladang bisnis
dengan jaminan jam terbang yang cukup tinggi, sertifikat pembuktian keahlian,
ajang "icip-icip" rasa dan aroma berkualitas, mengeksplor rasa dengan
angka-angka.
Petani
kopi disini, masih bertukar informasi tentang varietas dengan nama lokal yang
turun temurun dengan cerita tanpa konsep ilmiah. Berganti-ganti produk pupuk
yang diharapkan menyuburkan tanah dan mensejahterakan vitamin kopi. Berkeliling
menyebar berita tentang siapa dan berapa hasil panen puncak mereka.
Perbandingan yang pada akhirnya berujung hanya cerita.
Dimana
kemajuan itu terhambat menyinggahi petani kopi kami?
Di tanamannya-kah?
atau di manusianya-kah?
"ceritakan
semua pada dunia, agar dunia sesekali memberimu saran bijaknya"
(Sapphireque).
Komentar
Posting Komentar