MENGEJAR SULUH


*1
Apa yang tuhan rencanakan. Aku orang yang sama dengan orang lain, mempertanyakan pertanyaan itu sebagai bentuk kebigungan. Apalagi sebagai makhluk aku tidak bisa memastikan bentuk kebenaran itu. Jalanku kian gontai saat tak ada siapa yang mengenali sosoknya. Perasaan  kesal  kutepis disetiap ketukan pintu  atau sapaan  yang  tak berbuah  hasil. Tidak ada yang  mengenalnya.
Puluhan gang dengan lebar berbeda telah kumasuki bersama rasa harap yang tak bisa ditepis. Harapan  itu yang menjadi tuan ku hari ini. Tidak kubiarkan  seorangpun bahkan rasa kemanusian ku tekan kedasar agar langkah tidak terhenti untuk memastikan wujudnya. Tidak pernah tertangkap jelas sosok nyatanya dalam  laci pengenal otak ku. Namun, sedikit bayangan akan dirinya mendorong tubuhku agar terus mengitari daerah asing ini. Walaupun aku lahir ditanah ini, namun jalanan ini pertama kali kutapaki.
Berkali-kali aku memasuki gang yang sama, melewati perumahan yang sama. Lebih kuat karena ingin mengetahui sedikit tentang sosoknya. Tapi aku tidak ingin menyangkal bahwa keinginan untuk mengenal lebih banyak dan mengeruk kehidupannya lebih dari yang kuinginkan adalah tujuanku. Namun, karena keasingan daerah perumahan ini juga yang membuat laju  kereta hanya berputar ditempat-tempat yang sama, beberapa kali.
Tidak ada yang merasa mengenalnya. Tidak ada  seorangpun pernah mendengar namanya. Tak seorangpun  merasa memiliki tetangga sepertinya. Tidak ada yang merasa pernah mendengar berita kepulangannya melalui corong masjid. Tak seorang pun merasa pernah menghadiri prosesi pemakamannya. Terlebih lagi tak ada masjid-masjid yang pernah disinggahi tubuhnya yang telah terbujur kaku. Apakah  ini halusinasi pikirku.
Dalam hitungan jam, tekad ku mulai terhisap oleh kebingungan. Tak ada petunjuk yang jelas. Media sosial kucurigai tanpa ampun, melepas “naluri detektif” yang tak tersalurkan. Perkenalan melalui jejaring sosial kusalahkan. Gusar akan akhir pencarian hari ini. Sesal yang lain muncul, karena niatan yang telah lama ingin berkenalan dengan kisah hidupnya tak lantas kusegerakan. Untuk kesekian  kali aku  kehilangan  jejak yang sama tepat didepan mata.
Pikiranku bermain sendiri, lepas kontrol dari kemungkinan yang tertutupi. Ada yang salah terangku pada seorang sahabat. Sesekali juga ia menimpali ocehan ku yang tak tau arah. Iya ini seperti fiksi katanya. Tubuhku kudorong menyetuh sandaran kursi, bersama langkah yang kusesali lagi karena memutuskan pulang tanpa kepastian. Jika saja bukan untuk sandaran kursi itu diciptakan, mungkin ia telah melemparku menjauhi tubuhnya. Beban  kekesalan kubagikan pada tubuh  kayunya, tanpa berpikir apakah ia merasa berat dengan itu.  Disetiap detik hanya ingin duduk pikiranku. Membenamkan diri dalam cemas disamping sahabat yang sementaran keberadaannya kukesampingkan.  

   Diam sejenak tanpa ketenangan dikarenakan tak bisa memastikan kenyataan sosoknya. Bersama serbuan rasa yang kehilangan harapan, aku memutuskan  untuk mengalah  pada ingin. Perlahan kubujuk badan beranjak  meninggalkan kursi. Sejurus kemudian raga ku benar-benar meninggalkan tempat ini. Namun, aku meninggalkan harapan lain disini, ditanah yang menyaksikan bahwa sosoknya nyata. Setidaknya, pertemukan ilmu itu dalam wujud lain Rabb. Mungkin tuhan memilih menutup wajah itu dari penglihatanku, tapi banyak cara untuk merekam  ilmu yang tertinggal disini. Dunia yang digariskan untuk ku terus menebak segala kemungkinan, sebelum berada diperaduan yang sama.  Kelak

Komentar

Postingan Populer