Dari Tepi Danau , Gelembung Asa Bersuara


 
Mvp Danatrifari

           Lembut, mendayu, karismatik gambaran suara yang menyempurnakan roman alam gayo pagi hari. Kami duduk tepat ditepian Danau Laut Tawar, desa Mendale. Dibawah atap sebuah rumah dengan tiang dasar berada dalam air, yang aku yakin dibuat untuk menikmati panorama danau ini. Berlantaikan kayu, dipaku tidak rapat, tidak rapi. Dengan begitu, mataku masih bisa menikmati beragam gerakan dibawah kakiku ini. Ikan-ikan yang lalu-lalang, sampah-sampah yang tampaknya telah lama terlelap didasar.

Petikan senar gitar mengawali. Perlahan melodi-melodinya menarik titik fokus. Jari-jari lelaki remaja itu memainkan tali atom dengan tegas. Mengontrol bunyinya agar tersusun rapi, memberi makna. Ini bagian favoritku, senar gitar. 

Suguhan ini diracik dengan unsur lain, alunan melankolis sang biola. Sendunya tiupan seruling bambu. Dan karakter suara yang kuat dari tenggorokan dua lelaki lainnya menyempurnakan penyampaian pesan. Melalui seni kata mereka, suara mereka lebih keras terdengar. Inginnya mereka lebih mudah tersampaikan. Ini cara mereka bersuara. Santun, elegan, memainkan emosi. 

Tiga laki-laki dengan kepribadian berbeda, dengan setelan yang berbeda. Tiga laki-laki dengan kemampuan yang tidak sama, menggambar asa para petani kopi dengan apik. Suara anak-anak petani kopi yang merasakan getirnya perjuanggan saat musim panen, gagal menjadi penawar.

Bur Birah Panyang mencoba menilik rasa kami dari kejauhan. Menjadi background punggung-punggung generasi tanah Gayo. Kutangkap pula lirikan dua orang nelayan, mencoba curi dengar suara ketiga pria ini, walaupun keduanya sibuk menarik jaring dan terus menggayuh perahunya. 

Bentang air danau laut tawar, seolah paham. Gelombang airnya yang tak riuh menyapa pinggiran rumah ini. Menimbulkan bebunyian yang aku tidak paham bagaimana harus menggambarkannya. Angin yang beberapa hari sebelumnya, hilir mudik tak terkendalikan kali ini bergerak lembut menyapa alam. 

Warna lain pikirku, untuk  melembutkan suara, mengurangi hentakan langkah. Sesekali dengarkan instrumen orang lain pada hati. Agar ia paham bagaimana  berjalan dengan rasa menghargai.  

Satu persatu air dari udara menyapa bumi. Ditingkahi semilir angin, dipinggiran danau ini. Beberapa menit, semua terdiam, tidak terdengar lagi gesekan biola maupun petikan gitar serta lingkaran lubang pada seruling yang mengeluarkan suara. Namun, sepertinya kini berganti pada suara dalam pikiran masing-masing dari kami, yang mencoba memaknai mungkin. Setelahnya, suara tepuk tangan menarik kami pada aktivitas dunia. Meninggalkan instrumen mereka dalam pemaknaan.

Ini tentang apa yang kita dengarkan. Suara alamkah atau suara kemanusiaan. Atau suara apapun tanpa ada pilihan. Dengan gerakan apapun hanya dengan syarat tidak mencela gerakan manusia lain. Letakkan kesibukan pikiranmu sejenak, dengarkan bahkan alam menutup matanya untuk menikmati suara anak negeri ini.  
-

Komentar

  1. Diantara ketiganya, lelaki mana yang kau maksud k?

    BalasHapus
  2. Lelaki yang menikmati seninya dek wa :)
    ya bertigalah #pancingan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer