Catatan Tepi, Buah Kopi
Gelombang
awan menutupi hijaunya pegunungan, menelan sinar kehangatan pagi ini. Jika
kalian berdiri tepat ditanah yang kupijaki ini, akan tampak lereng gunung
berserta ragam pesonanya. Hanya dengan satu syarat,bawa serta rasa kagum akan
hal-hal yang sederhana. Akan tumbuhan lumut yang bermacam ragam, akan hewan-hewan
kecil dengan tingkah laku layaknya manusia, akan rumah-rumah kecil yang muncul
dari permukaan tanah tanpa bisa dipastikan siapa penghuninya. Akan keragaman
pola hidup diperbukitan ini.
Tepat
dipundak bukit itu, tanah perkebunan kami. Yang tampak hijau pekat tanpa kerjasama
dari matahari. Harus melewati beberapa tubuh perbukitan lagi untuk bisa
menginjakkan kaki dilahan perkebunan kopi milik keluarga ku. Dalam dingin,
hembusan angin yang meningkahi tulang, bersama titik-titik air yang masih saja
menyapa semesta, kemerdekaan yang ia dapat jika matahari tak kunjung berkuasa. Dan,
dengan atau tanpa matahari kami petani kopi harus membelai tubuh perkebunan
ini. Memetik emas merah, untuk mengubah nilainya menjadi lembaran-lembaran yang
sepertinya lebih berharga disemesta ini.
Rasa
enggan, adalah hal yang pertama muncul dipikiranku. Mempengaruhi langkah. Memainkan
emosi dipagi hari. Walaupun ada kepastian, sore hari nanti lembaran uang juga
akan ku kantongi. Tapi jujur, kemauan ku dikalahkan rasa dingin.Selimut hangat
versus kebun kopi. Dua tema yang bertarung sengit dalam benakku. Memaksa untuk
dipilih. Menghilangkan tenaga yang coba ku hisap dari karbohidrat sepiring
nasi.
Entah
berapa kali tarikan nafas panjang kuhembuskan. Coba memberi tau semua, aku
perlahan kehilangan semangat. Dengan bersandar penuh pada dinding kayu gubuk
kami. Tapi, sepertinya mereka tak paham atau tak mau tau. Ayah bahkan tak mau
menunggu lama. Kini, hanya punggung dan sesekali kepalanya yang terlihat
dirimbunan perkebunan ini. Tak jauh beda dengan mamak, ia sedang sibuk
menyiapkan peralatannya. Gunting yang akan ia kenakan untuk memangkas
cabang-cabang pohon kopi, gembol1,
beberapa plastik yang ia kantongi dan satu kantong plastik berisi bibit entah
tanaman apa.
“hana ilen!”2 suara kakak membuatku
mengerutkan dahi. Menyuarakan keharusan untuk mulai bekerja, memetik buah kopi.
Aku
benar-benar masih enggan. Kumainkan mangkuk ditangan, memutar-mutar larutan
kopi yang sekali teguk lagi akan tandas. Ampas kopi mulai mengotori ujung-ujung
mangkuk. Tidak tau apa yang ku tunggu, tapi hanya ingin duduk disini. Walau duduk
berlantai kayu, beratap seng berwarna kecoklatan, ditemani semut-semut yang
sibuk berlalu-lalang ditiang-tiang kayu, dengan jaket menggantikan selimut tak
apa. Asalkan tidak melangkah ketengah perekebunan, pikiran untuk pulang kerumah
pun bisa ku kendalikan.
“Ara!mai karung kendiri, kahe hek ulak-ulak
naleng”3 suara mamak dari kejauhan kembali memaksa ku agar
bergegas mengikuti mereka. Memetik buah-buah kopi yang kini memerah.
“Bohmi mak!”4 suaraku berat
bersama guratan wajah tak suka, dan sepertinya tak terlihat oleh keluarga ku
karena hanya tinggal tubuhku yang dinaungi gubuk ini. Sementara awan, masih
saja menunjukkan wajah buramnya.
Kujatuhkan
langkah pada satu persatu anak tangga gubuk ini. Sepertinya egoku kalah
strategi. Kupandangi lagi perkebunan, aura dingin membalut tubuhnya. Sepatu lenge5 dengan rasa tak
senang ku pakaikan untuk melindungi kedua kaki dan membuatnya lebih nyaman
melangkah. Kupakai sarung tangan disebelah kanan, untuk mengurangi rasa dingin.
Karena beberapa jam kedepan tangan kanan inilah modal kerja hari ini. Ia harus
bertahan memetik buah kopi, satu persatu, dari satu pohon ke pohon lainnya.
Tanpa
rasa yang jelas, tubuhku memasuki perkebunan. Batang kopi pertama menjadi
sasaran ke-engganan. Dengan sedikit kasar kusentuh tubuhnya yang basah. Ku
lerai buah merah kopi-kopi ini dari mayangnya. Masih dengan pola yang kasar,
menghentakkan tubuh mereka kedalam kantong gembol.
Tak ada rasa perduli memaksa mereka berdesak-desakan didalamnya.
“Barisan
sebelah sana ara!” perintah kakakku. Ia menunjuk deretan pohon kopi yang belum
tersentuh oleh mereka. Jauhnya sekitar dua puluh langkah dari tempatku.
Aku
hanya berjalan kearah yang kakak ku perintahkan, tanpa suara. Kutinggalkan
pohon kopi pertama tadi sebelum buahnya benar-benar habis kucabuti.
Meninggalkannya begitu saja. Sambil berjalan, kulirik satu persatu anggota
keluargaku yang sepertinya tanpa keluhan bekerja. Bahkan mungkin menikmati
sekali, panen hari ini. Adikku, menempatkan dirinya dibawah batang-batang kopi.
Coba memenuhi kantong kopinya dengan lelesen6.
Kakak dan kedua orang tuaku sama seperti tugasku. Memetik buah kopi yang merah,
dan sesekali tampak sibuk membunuh cabang-cabang baru yang tumbuh diketiak
batang utama pohon kopi.
Bersama
tiupan angin, rintik-rintik hujan,rasa menikmati perlahan kuhadirkan. Memetik
buah kopi yang sudah memerah butuh kesabaran memang. Ragam tantangan. Apalagi
jika bergelut dengan jenis kopi arabika. Sarang semut, buah yang tak seragam
merahnya,ulat-ulat kecil bersarang didaunnya, dan jika hujan lebih banyak lagi
jenis hewan berlendir yang harus ku lawan. Belum lagi perkebunan ini umumnya
menanjak. Licin, terjal terkadang.
Saat
hendak melanjutkan langkah, menuju pohon kopi selanjutnya kakiku bergerak tak
sesuai perintah. Sebelah kanan melangkah kedepan sedangkan kaki kiri
tergelincir, hilang keseimbangan. Tarikan nafas panjang terbang bebas dari
kegelapan rongga mulutku. Rasa kecewa muncul bersamaan, lantaran buah kopi yang
telah berdesakan dalam gembol kini
meluncur bebas kesegala arah. Komplit sudah energi negatif memasuki jiwaku.
“ada yang
bisa bantu?” pintaku sambil melirik kakak dan adikku.
“haha...haha..hahaa”
bukan jawaban yang kuinginkan, mereka hanya tertawa dengan puasnya. Menambah
satu emosi negatif lagi. Bahkan aku berpikir kejadian sebelum-sebelumnya tadi
itu sudah benar-benar komplit.
Sekali
lagi ku biarkan karbondioksida terbang bebas menyapa temannya dialam ini.Kutatap
tanah yang memanggul buah kopi dengan pola tak beraturan. Perlahan tapi pasti
kumasukkan kembali mereka kekantong penampungan awalnya. Dan kedua saudara ku
kembali dengan pekerjaannya.
“Pelan-pelan,
kalau keseleo tambah urusan” suara kakak hanya sepintas lalu ditelingaku.
“emm”
spontanitas membantuku merespon pesannya. Semantara pikiranku tertuju pada hal
lain. Pada buah-buah kopi yang terjatuh. Yang berhasil kupungut kembali, yang
tenggelam dalam bulitan semak-semak, yang tampak tubuhnya terkulai diatas tanah
tapi kubiarkan saja.
“kini, aku den nuwetti e!”7
pinta adikku, sementara tangannya telah dulu memunguti buah kopi yang
berserakan itu.
“oh”
kujawab seperlunya, karena bahasa yang ia gunakan lebih bermakna perintah
dibanding makna permintaan membantu. Perintah untuk aku melanjutkan memetik
buah kopi dari tangkai-tangkainya dan ia memunguti hasil kerjaku.
Dan
tanpa rasa keberatan, pohon kopi lainnyapun kujelajahi. Pikiranku mulai
bersuara lagi, ketika beberapa buah kopi jatuh dengan caranya sendiri. Terjatuh
saat akan kupetik, dan beberapa buah yang membebaskan diri dari kepalan
tanganku. Mungkin karena licin pikirku. Ini kejadian biasa sebenarnya. Tapi,
kali ini otak ku menangkap makna darinya.
Aku
menoleh kekanan hampir 90 derajat kearah bawah. Adikku, masih dengan asiknya
memilah-milah biji kopi yang berjatuhan ditanah. Terselip antar rerumputan yang
juga bertahan berdesak-desakan, ada buah kopiyang tertimbun dibawah daun-daun kering
atau rerumputan yang mati. Kedua orangtua ku tidak begitu tampak, karena mereka
berjalan jauh didepan kami. Kakakku bergerak kesana-kemari, sibuk mencubiti
buah kopi.
Dititik
inilah. Didetik itulah, pikiranku menjadi guru untuk diriku sendiri. Membuat
kalimat-kalimat layaknya percakapan antar dua manusia. Bersuara.
“Perhatikan
takdir dari satu persatu buah kopi ini” pikiranku memulai. Aku hanya terduduk
dibawah pohon, berteduh atau lebih tepatnya mengambil waktu istirahat.
“Ada yang
setelah dipetik ia benar-benar sampai ditujuan. Dikarung goni para agen kopi.
Artinya wujudnya berbeda ditangan manusia, kehidupannya dihargai dengan
lembaran-lembarang uang. Tapi, ada takdir yang berbeda. Ada buah kopi terjatuh
saat tangan manusia menggerakkan cabangnya, ada yang jatuh saat ia hendak
digenggam manusia, saat dalam genggaman manusia, saat ia telah dikantongi, saat
ia melalui perpindahan tempat ke karung goni yang lebih besar. Ada juga yang
terjatuh saat ia hendak dimasukkan ke tong kecil untuk diukur banyaknya. Bahkan
ada yang terjatuh sendiri sebelum tangan manusia menjamah tubuhnya.” suara
pikiranku berhenti sejenak. Otakku mencoba mengumpulkan informasi yang lebih
banyak.
“Tapi ada
bentuk nasib lainnya pada buah-buah kopi yang terjatuh. Akan ada tangan manusia
yang memunguti mereka diwaktu berbeda. Terkadang saat tubuh bulatnya masih
utuh, manusia memunguti ia dari dinginnya penerimaan tanah. Terkadang saat
tubuhnya telah kehilangan kulit luar (eksokarp). Bahkan ada juga yang tubuhnya
ditemukan dan dipunguti manusia saat ia telah kehilangan lapisan dangingnya
(mesokarp), walaupun ini jarang terjadi.” Kembali pikiranku menarik suaranya,
berjeda.
Kutatap
tangan kanan, sarung tanggan pelindungnya kulepas perlahan. Membersihkan
beberapa kotoran ditelapaknya hanya berfungsi sebagai peralihan fokus kedunia
nyata. Kembali kuarahkan tatapan kesekeliling. Kedua saudaraku melakukan hal
yang sama, duduk dibawah pohon yang bisa dihitung langkah dari tempatku.
“Dan
bahkan, banyak biji kopi yang tak tersentuh penglihatan manusia” pikiran itu
mengambil alih, mempertegas arahnya.
“Seperti sengaja disembunyikan tuhan. Setelah
terjatuh dari jangkauan tangan dan jauh dari penglihatan manusia, ia tenggelam
dalam takdir hidup yang beragam lagi. Saat biji-biji itu telah berubah wujud,
tumbuh menjadi bibit. Sebagian dari generasi baru pohon kopi itu, baru
diizinkan tuhan untuk disapa tangan manusia. Dan itupun tidak sebanyak buah kopi
yang terjatuh dan tak tau apa nasibnya” semakin tegas suara pikiran itu
mengajarku.
“Bukankah
sama dengan hukum rezeki yang telah ditetapkan untuk manusia. Ketika tuhan
menulis rezeki itu untuk kita maka tidak ada halangan, ia akan menjadi hak
kita. Jika tuhan tidak membenarkan ia sebagai kepemilikan kita, maka hal yang
sama berlaku. Sebanyak apapun usaha, sekeras apapun kita meminta, sekuat apapun
kita mencoba, ia akan terjatuh dari genggaman dengan berbagai cara” dalam diam
ku benarkan suara itu, suara yang mungkin telinga ini pun tak menangkap
gelombangfrekuensinya.
“Saat
manusia mengusahakan rezeki yang ia inginkan, Tuhan memainkan haknya. Ada yang
diberi ujian saat kita menjalani posesnya. Ada yang dijauhkan, sebelum tangan
kita mendekatinya. Bahkan ada yang dihilangkan atau diambil Tuhan saat apa yang
kita usahakan telah ditangan. Telah menempati salah satu ruang dalam tubuh
kita. Uang yang telah dikantongi tapi hilang, minsalnya.” Pikiran itu terus
berupaya melanjutkan inginnya. Hanya saja, tanpa alasan yang kupahami hembusan
nafas kembali mengembalikan dunia nyataku.
Kucukupkan
peran suara pikiranku hari ini. Seonggok semangat memasuki tubuh, menjalar
entah disel atau saraf mana. Kupakai kembali sarung tangan, perisai tangan
kananku. Dengan rasa yang berbeda pastinya, langkah demi langkah menempatkan
tubuh ini lebih cepat mendekati pohon kopi didepanku. Buahnya memerah, cukup
hangat tatapannya walaupun diguyur gerimis. Berbeda sekali dengan buah-buah
kopi yang kupetik sebelumnya, tidak ada pesona apapun pada buah bulat dengan
merah cerahnya. Entahlah, apakah itu tentang wajah ku atau wajah buah kopi-kopi
ini.
~
Dua
jam kemudian, semua anggota keluarga sepakat untuk menghentikan langkah.
Mengambil waktu untuk menguras lelah. Kembali kusandarkan diri pada dinding
kayu gubuk, arah yang berlawanan dari tempatku sebelumnya. Pandanganku kini
disuguhi alam dengan ranting-ranting pohon yang dijadikan pelindung pohon kopi
dibawah sana. Titik-titik air dari langit masih bergerak riang tak mengenal
henti. Sesekali cekkikan kawanan burung terdengar. Sementara semut-semut
ditiang gubuk, masih saja sama. Ada yang berjalan kearah bawah dan lebih banyak
lagi kawanan semut membawa beban berjalan cepat kearah atap.
Suara
air yang dituang kedalam mangkuk, menarik ku dari menatap alam. Kutarik termos
kecil berisi kopi. Menumpahkan cairan hitam itu perlahan. Tegukan pertama, rasa
pahit tidak terasa dominan. Karena gula telah mengambil perannya. Tapi apapun rasanya
nikmati saja, prinsipku. Tegukan selanjutnya, merangsang otak ini merangkai
kejadian dan mengwujudkannya dalam kata. Masih dengan tema yang sama, gambaran
rejeki manusia dengan pola takdirnya si buah kopi.
“Entah,
ike nampen uren lang pe gere tentu rede. Termunge terulak.”8
ajakan mamak juga bernada perintah
sebenarnya. Tapi kali ini, walaupun lamunanku terputus diseperempat
jalan masih ada semangat untuk kembali dibalut basahnya perkebunan ini.
Mangkuk
berisi kopi, kupaksa tandas dalam satu kali tegukan. Kembali dengan sapu tangan
dan perlengkapan ala kadarnya seperti petani kopi biasanya. Namun, pikiranku
kukuh mempertahankan alur kalimat yang tersusun sebelumnya. Kali ini, dalam
langkah kaki yang menggiring tubuh memasuki perkebunan lebih dalam lagi, lebih
jauh lagi pikiran akan hubungan rezeki dengan makna kehidupan buah kopi
berganti setting. Kini makna-makna
hidup itu, ia rangkai dari proses biji kopi yang di roasting hingga ia digiling
menjadi bubuk kopi. Dan lebih jauh lagi, pikiranku juga mengikut sertakan
kehidupan bubuk kopi dalam secangkir kopi milik ku tadi atau milik orang lain
jauh diluar sana. Dinegara asing sana, diwilayah yang berbeda, dimusim dan
dalam rasa yang tak pernah akan sama.
“Bukankah
begini seharusnya” kembali pikiran ini berbisik. Aku mengiyakan.
“Apapun
yang dikerjakan, dengan makhluk manapun kita beraktivitas setiap harinya.
Bukankah seharusnya begini? mencari banyak hal, banyak sisi, banyak sudut
pandang yang harus dipelajari. Menjadikan pikiran sebagai guru bukan satu
kesalahankan?”sepertinya bukan mencari kebenaran pikiran ini. Ia lebih suka
bertanya untuk mendapat kebenaran itu
akan muncul dijawaban yang mana, itu yang ia cari.
Dan
aku memilih satu kalimat penutup, untuk semua hal yang diutarakan pikiranku
tadi. Seperti kesimpulan. Bahwa rasa ingin lebih dekat dengan kehidupan
biji-biji kopi, ingin duduk ditemani secangkir kopi, ingin mendengar lebih
banyak tentang kopi bukan hanya saat meneguk menikmati rasa pahitnya saja. Tapi
lebih karena aku ingin meneguk lebih banyak kafein-kafein tanpa wujud yang ia
punya. Yang terbang bebas, yang sehari-hari harusnya kita sadari, harusnya kita
pelajari. Aku hanya ingin mencari kafein yang tak berwujud itu.
```
*Postingan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi
Menulis Cerpen #MyCupofStory, yang diselenggarakan
oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
wuuuigght,
BalasHapushehee.. masih coba-coba kak
BalasHapusmakasih kak valen, mau baca tulisan kami kwkw