Keluarga itu, Makhluk apa? #1
Tubuhnya bergantung pada kasur kapuk
tua. Bantal guling dengan setengah kapasnya layu, menjadi penyangga tubuhnya
yang kian renta. Selimut dengan ketebalan 3 cm pun tidak mampu berlama-lama
menutupi tubuhnya, karena rasa gerah membuat ia cepat marah. Hanya sehelai kain
panjang yang terus ia tarik-ulur. Permainannya jika telah beranjak alam bawah
sadar, hanya dinding yang terkadang dihinggapi serangga.
Sepotong roti kini bisa ia
habiskan dalam dua-tiga hari. Ususnya tidak menerima banyak kuota makanan.
Mulutnya terasa hambar. Nafsu makan jangan ditanya, mungkin kini menjadi rasa
yang langka baginya.
Sesekali ia tertidur pulas. Namun,
banyak waktu yang ia habiskan bersama rasa sakit, nyeri dan rasa lain yang
bahkan sulit untuk didefinisikan. Dalam sehari hanya ini yang bisa ia hadapi. Dunia
luar, matahari, bulan, bintang, pepohonan, rumput, bunga-bunga yang mekar, anak-anak yang bermain, lalu-lalangnya manusia
dijalanan, bercengkrama dengan teman, saudara. Banyak lagi aktifitas dunia yang
kini menjadi dunia diluar jangkauan baginya. Merasakan semuanya hanya dengan
kehadiran suara-suara. kini ia perempuan yang tua renta.
Iya, ia seorang perempuan tua
renta. Seorang ibu dari anak-anaknya. Seorang nenek dari cucu-cucunya. Seorang datu
dari cicit-cicitnya. Ia masih hidup dengan segala tenaga yang telah luntur
darinya. Namun, ia masih hidup. Masih merasakan apapun. Masih mendengar apapun,
masih berpikir tentang apapun. Ia masih hidup dengan segala keterbatasannya.
Ia bukan boneka yang tuli akan
keluhan manusia. Ia bukan boneka yang menutup mata dari perdebatan manusia. Ia
bukan boneka yang tidak merekam kegiatan disekitarnya. Ia masih hidup. Ia juga
masih merasakan getirnya penolakan. Mendengar semua pertengkaran tak berdasar. Ia
masih peka tentang siapa yang tulus, siapa yang memamerkan kebaikan palsu. Ia
tahu, ia masih hidup.
Namun, layakkah ia merasakan
semuanya diusia renta?. Layakkah ia dipertontonkan kebodohan manusia normal?.
Masih haruskah ia memikirkan dunia saat tubuhnya kian mendekati asalnya. Apakah
masih patut telinganya bergulat dengan suara parau ke-egoan. Mungkin ia lelah,
tapi ia bungkam. Jika bisa berlari, mungkin kakinya kini menginjak tanah lain.
Jika ia bisa mengurus diri, mungkin kini ia hanya mengatakan ia bisa
mengerjakannya sendiri. Mungkin ia bisikkan bahwa ia tidak membutuhkan
penjagaan. Mungkin ia memilih masa tua bersama dirinya sendiri dalam
pengulangan masa mudanya.
Ia kini hanya perempuan tua renta.
Komentar
Posting Komentar