My Reason, My Sven #2


Taken.com
Kakiku kembali melangkah mendekati tempat yang sama. Tempat bersantai ria dipinggiran danau incaranku, desa bebuli. Sendiri.
Sejak dua minggu yang lalu, pertama kali mendapati sosok Noyan. Sekalipun tidak ada bisikan pikiran untuk kembali memandangi punggungnya.  Untuk langkah kaki kali ini benar-benar hanya ingin menikmati waktu sendiri seperti biasa.
Uluran gas ditelinga kanan sepeda motor kuatur berputar santai. Seringnya ingin cepat ditempat tujuan, hingga angka 60 atau 80 menjadi ukuran standar kecepatan sepeda motor bergerak. Jarang bisa menikmati alam yang Allah sediakan untuk banyak dipelajari. Kali ini, kuambil maunya tuhan. Menyisihkan egoku, enggan suara keramaian.
 Kurang lebih 15 menit kuhabiskan menikmati pikiran sendiri diperjalanan. Gerbang dengan kayu yang terlihat renta itu batas langkahku. Kubuka perlahan, takut tubuh kayunya yang reta tidak bertahan walau dengan dorongan standar.
Alam yang sama melirikku, tersenyum menyapa. Kutatap mereka, perlahan garis senyuman terasa ada di wajahku. Setelahnya ada perintah dari saraf-saraf untuk meletakkan sepeda motor ditempat yang sama seperti dua minggu lalu.
Alam bawah sadar kini berkuasa. Membawaku ketempat yang sama. Bangku kayu dibawah pohon cemara. Berlantai rumput teki, sepertinya baru dipangkas paksa sebagian daunnya. Aku memilih setting yang sedikit berbeda. Kali ini kuletakkan tas dibangku kayu, sebelah kiri. Setelah mengeluarkan barang primer. Rerumputan kupaksa menahan beban berat lagi. Beberapa buku, pulpen, pensil dan tubuhku. Menyapa alam langsung tanpa ruang udara lebih menyatu pikirku.
Mulai kuatur pikiran. Tangan bergerak menyalinnya diatas kertas dengan pena berwarna hitam. Sepertinya musik kali ini tidak perlu difungsikan. Hanya ada aku dan salah satu gadis remaja yang berjualan disisi kanan. Dirinya hanya melirikku sebentar, lalu kembali merapikan dagangannya.
Tuhan menitipkan pada telingaku bunyi air yang menghatam bebatuan dipinggiran danau. Deru kendaraan dijalanan. Angin sepoi-sepoi yang memunculkan berbagai macam bunyian. Menyentuh ranting, dedaunan, meningkahi badan pohon, menyapa tanaman rambat, terpelanting didinding sebuah rumah. Para angin ini benar-benar pandai bermain dengan semua benda dialam.
Kulalui hampir satu jam suasana yang sama. Namun, setelahnya aku seperti patung yang terkena kutukan etah karena alasan apa. Tanpa suara, hanya memandang sosoknya.
~

Derit gerbang tua beberapa meter dibelakangku, berbunyi parau. Tanpa membalikkan badan, pikiran hanya berkata ada langkah manusia lain. Satu kepala headset telah sempurna menutup telinga kiriku. Sebelum telinga kanan bernasip sama, otakku menangkap suara yang sepertinya pernah terdengar.
“Kak pin, titip Noris sebentar ya” suaranya lembut sedikit berteriak. Logatnya berbeda. “aku mau tungguin yang jualan ikan, didepan! Bentaran ya” ia masih mempertegas tujuannya. Tanpa berpikir panjang , kupalingkan wajah menuju sumber suara. Perempuan bertubuh berisi itu, berjalan kembali kearah gerbang tua yang tertutup. Sementara anak yang sama, yang kulihat beberapa waktu lalu berdiri diam beberapa meter dibelakangnya.
 “iya mba” teriak gadis remaja yang sibuk diruang dagangnya tadi. Namun, perempuan dengan panggilan mba’ itu telah hilang ditelan gerbang tua. Gadis yang mungkin bernama pin itu, mendekati bocah laki-laki tadi. Meletakkan kedua tangannya dipundak si anak laki-laki, perlahan ia mendorong tubuh kecil itu mendekati kursi kayu yang letaknya hanya beberapa langkah dari tempatnya berdagang.
Mata anak itu terpaku ketanah. Tubuhnya sempurna menggantungkan berat pada badan kursi kayu. Hanya tangannya yang bergerak cepat. Jarinya bermain tidak beraturan. Membolak-balik dua dadu dari tangan kanan ke tangan kirinya.
Duniaku benar-benar dialihkannya. Mungkin hampir satu jam, sosoknya menjadi fokus otak, mata dan telingaku. Alam sadarku terbangun karena dering handphone milikku menyampaikan pesan. Ada yang mencoba menghubungiku, hanya seorang teman yang mengingatkan agendaku. Memastikan langkahku sama dengan langkahnya.
Kutarik nafas, kulirik Noyan sebentar. Kumasukkan kembali barang-barang kedalam tas. Kupastikan tidak ada yang tertinggal. Kini langkahku perlahan mendekati posisi duduk Noyan. Hanya saja, arah kakiku beberapa derajat menjauhinya. Mendekati rumah dagangan gadis, kemungkinan bernama pin itu. Kusuguhkan senyum padanya, mengambil satu botol air mineral, beberapa snack. Kutunaikan kewajiban membayarnya dan gadis itu menunaikan kewajibannya mengembalikan beberapa rupiah milikku.
Kakiku mulai berjalan menjauhi mereka, tapi hanya dua langkah maju. “emm.. kak” senyumku bersyarat, balik menatap wajah gadis itu. “iya” responnya. “emm adek itu (aku menunjuk Noyan yang masih dalam posisi sama), asli orang sini ya?” lanjut tanyaku.
Beberapa detik kerutan muncul didahinya. Syarat bingung, merasa aneh atau ia tidak mengerti mungkin. Kutatap Noyan. “baru pindah dari magelang kabarnya kak, bukan orang gayo” kulirik wajahnya kembali. Giginya terlihat rapi saat berbicara. “baru sekitar 3 bulan” katanya lagi.
Responku hanya mengangguk pelan. Tanpa pertanyaan lanjutan, kuucapkan terima kasih. Kulirik jam tangan dipergelangan kanan. Hanya ada 10 menit waktu kosong yang tersisa. Gadis itu kemudian tersenyum kembali. Sebelum benar-benar jauh, kulirik lagi Noyan. Sama, ia hanya menatap dadunya atau mungkin tangannya, mungkin juga sesuatu ditanah. Entahlah apa yang ia tatap.
Kembali aku tersenyum entah karena apa. Kubuka gerbang kayu tua. Bersama sepeda motor, langkahku benar-benar menjauh darinya. Sosok Noyan pun muncul dari laci memory. Sarafku semakin banyak tertarik akannya. Muncul wajahnya, muncul pertanyaan. Muncul pertanyaan, muncul bayangan jarinya yang bergerak cepat. Sepanjang hari hal yang sama mengendalikan otakku. What happen boy?.

Komentar

Postingan Populer