My Reason, My Sven #1


John Brower
Noris Yahya N, Noyan. Lelaki berumur  10 tahun yang tidak sepakat dengan syarat normal manusia. Bulan juli 2014, keluarganya memilih desa bebuli untuk noyan memulai hidup di tanoh gayo. Anak kedua dari dua bersaudara. Ayah noyan sehari-harinya bekerja di sebuah pabrik kopi dengan skala besar di magelang. Bunda, gadis magelang seorang manajer penyaluran di perusahaan makanan ringan. Kakak laki-lakinya bari, hanya sekilas gambaranku tentang sosoknya.
Awan cumulus meningkahi langit pagi itu, sesosok tubuh kecil terpaku menadah menikmatinya. Pakaiannya rapi,  wajahnya lembut dengan bibir tipis sebagai pesona utamanya. Rambut hitam dengan potongan pendek membuat wajahnya sebagai fokus utama. Dialah sosok noyan yang pertama ku temui. Tepat dipinggiran danau laut tawar, desa bebuli. Sendiri tanpa suara.
Seorang anak sendirian, dipinggiran danau. Mungkin, orang tuanya meninggalkannya sebentar pikirku. Kuletakkan tas, wadah harta karunku di rerumputan. Satu persatu mulai kukeluarkan. Awalnya sebuah buku, kemudian kertas-kertas kosong, pulpen, pensil, penghapus. Terakhir dongapen. Kertas pertama kuambil, mulai menulis sesuatu. Tapi serasa ada yang kurang, ternyata aku melupakan musik.
Terpikir untuk tidak mengganggu teman kecil yang sendirian. Headset dalam kantong jaket pun ku fungsikan. Lagu pertama, feel my soul dari  yui. Setelahnya aku dengan alam sendiri dan musik pun dengan alamnya sendiri.
Beberapa kali kulirik aktivitas disekitar ku, seorang kakek dibibir danau tengah memberi perawatan pada perahunya, mungkin. Dua orang remaja perempuan sedang sibuk mengurusi  rumah makan kecilnya. Sebuah gazebo, dinaungi beberapa batang pohon uyem. Seorang ibu, kira-kira 200 meter ke utara terlihat bergelut dengan jemurannya. Selebihnya ada aku dan beberapa langkah didepan, seorang anak laki-laki yang kini menunduk, menatap rerumputan.
Waktu berjalan dengan cepat. Hanya dua lembar kertas yang kini terisi tulisan tanganku. Sisanya, puluhan lembar kertas kosong masih menunggu giliran. Sementara matahari telah dititik sempurna menerangi semua sisi bumi. Tatapan kuharuskan menangkap makna alam, agar kalimat-kalimat mulai memasuki ruang otakku. Beberapa detik memandangi ujung selatan danau. Menit lain mencoba mencari sesuatu pada barisan pemukiman. Tidak juga menemukan yang dicari, kualihkan pandangan kembali pada kertas putih.
Pikiranku belum menangkap satu katapun. Sementara pensil telah siap siaga untuk menuliskannya. Tiba-tiba suara seorang perempuan menghancurkan kembali kata-kata yang perlahan kurangkai. Menjauh meninggalkan berangkas inginku. “adek pulang lagi yuk, besok kita kesini lagi” suara perempuan tanpa jilbab itu membujuk. Anak laki-laki didepanku tidak bergeming sedikitpun. Perempuan itu berjongkok dihadapan anak itu, mengulang beberapa kali ajakannya. Tapi sama, anak itu masih dalam diam menatap entah apa, menunduk.
 Dari logak bicara perempuan muda yang kira-kira masih berusia 20-an itu, mereka bukan berasal dari sini. Pendatang sepertinya. Wajahnya tirus, berkulit sawo matang. Rambutnya dibiarkan tergerai, menjadi teman bermain angin sepoi-sepoi. Beberapa jerawat, menunjukkan diri disekitar wajahnya. Beberapa gelang melingkar ditanggan kirinya. Satu cincin bertengger di jari manisnya. Blus putih lengan tanggung dengan celana jins hitam bermotif bintang di bagian pahak, membalut tubuhnya yang agak berisi.  
“Mba’ mau masak untuk makan siang kita”, katanya. Perlahan ia menggamit tangan anak itu, tapi ia hanya diam. Sekilas aku menangkap, senyum tipis dari perempuan yang memanggil dirinya mba’ ini. Ia mengeluarkan buku kecil dari saku celananya. Meletakkannya dihadapan anak tersebut. Secepat jet tempur, tanggannya menyambar buku  kecil berwarna coklat tersebut. Perempuan itu, kembali meraih tangan anak laki-laki itu, tapi kini dengan tarikkan yang di ikuti langkah kakinya. Kaki kecil itu pun, perlahan bergerak mengikutinya dari belakang.
Mataku tetap terpaku melihat laki-laki kecil itu hingga tubuhnya muncul tenggelam disela-sela rumput dan pepohonan. Matanya tetap menatap buku yang ia pegang, wajahnya datar tanpa ekspresi. Sementara kakinya sibuk mengikuti si mba’ yang berjalan tanpa menoleh pada anak laki-laki tadi. Mereka menuju rumah diseberang jalan. Pertanyaan yang muncul, what happen boy?
Ini adalah pertama kali berjumpa dengannya, anak laki-laki yang dua minggu kemudian ku ketahui nama dan kepribadiannya. Noris Yahya N. Teman kecil dengan nama panggilan khusus dariku noyan. Ia seorang anak asli magelang yang menderita autis sejak umur 5 tahun. Berhenti bicara sejak umur  7 tahun. Seorang anak yang memiliki kecepatan saat mengerjakan sesuatu, yang ia senangi. Membolak-balik ludo, mencabuti daun mawar depan rumahnya, membongkarpasang mobil-mobilan, memahat paku kemudian mencabutnya setelah itu kembali memasangnya, membuat pusing koin cina yang selalu ia bawa.
Bagiku ia seperti sven, dan aku kristoff. Seorang manusia yang terus bercerita pada temannya. sementara temannya terus menyembunyikan suaranya. Hanya, sven ku benar-benar diam. Tanpa ada kekacauan, tanpa tingkah manja yang menggemaskan. Mungkin ini alasan mengapa ia tidak menjauh saat kudekati, dan aku tidak ingin menjauh saat ia diam, membeku tanpa suara tanpa ekspresi. Yang kupahami aku membutuhkan teman untuk bercerita, dan Noyan membutuhkan suara agar ia tidak merasa sendirian.
    _



Komentar

Postingan Populer